React Videos: Giving Voice to American Teens, Elders, and Kids

Video

This is it. The fiiiinal problem #UAS. Saya memutuskan untuk menjadi ‘tradisional’ dan percaya bahwa internet is this beau~tiful platform wherein everybody can express themselves. Yuhu! Dan oh, I acknowledge the digital divide thing (it is very real, I’m not naive) but yeah, in this context, React Videos are giving the chance to American (well, Californian, in this matter) kids, teens, and elders untuk memberikan opini mereka, sekaligus mengamplifikasi suara ini kepada publik online. 🙂 Made with sweat and tears. Enjoy!

Changing The World, One Click at a Time.

Standard

Apa yang terlintas di pikiran kalian saat mendengar kata ‘aktivis’? Someone who yells in front of the parliament building with signs and writings all over their shirts? Orang-orang yang melakukan long march? Atau orang yang melakukan sosialisasi ke orang-orang yang lewat di mall? Apa yang terbayang jika saya mengajukan frase ‘pengorbanan aktivis’? Keringat? Darah? Nyawa? Well. Sekarang, nggak perlu susah-susah untuk jadi aktivis–all you need is a computer/laptop–well any gadget, actually, with an internet connection.. and oh, right, a working index finger.

Welcome to the clicktivism era!

Yep, clicktivism. Istilah ini merujuk pada kegiatan aktivisme sosial yang sangat low-risk, low-commitment. It costs nothing more than a click on an online petition (like this one–you should sign it), a retweet/reblog, masuk group facebook, pasang twibbon… Terus abis itu? Udah. Karena identik dengan sifat malas ini, clicktivism juga disebut dengan slacktivism : slacker + activism. Namesake-nya emang berkonotasi jelek, sih, but, it’s not all that bad. Why? The internet connects people in more ways than can ever be counted. Given, hal tersebut nggak selalu bagus–what with all the bullying, internet addiction, phising, and all those kinds of identity theft–tidak bisa disangkal bahwa internet memberi orang sebuah ‘suara’–kesempatan untuk mengemukakan apa yang mereka rasa perlu untuk diubah.

Di artikel ini, Evgeny Morozov menyatakan bahwa kegiatan slacktivism ini tidak berarti apa-apa dan hanya memberi ilusi pada para slacktivist bahwa mereka telah berbuat banyak…dengan meng-klik like sebuah page Facebook, misalnya. Menurut Mary Joyce, co-founder dari proyek riset digital activism University of Washington, idealnya memang harus ada campuran antara strategi online dan offline agar membuat sebuah campaign berhasil. Contohnya adalah seperti meledaknya kampanye Koin untuk Prita yang digagas dan diurus oleh sekelompok blogger. Namun demikian, tanpa tindakan ‘nyata’, petisi online pun mampu menarik perhatian media dan memberi tekanan pada pihak yang dipetisi. Seperti yang terjadi pada petisi ini, 11.000 tanda tangan yang ada membantu dalam mendapat liputan media. Mary Joyce menyatakan bahwa memang lebih mudah untuk membuat seseorang menandatangani petisi online daripada menghadiri rally sungguhan, namun kecepatan penyebaran e-petition memang tidak dapat dibandingkan dengan penyebaran petisi fisik. Terlebih dari itu, tidak ada batasan geografis dalam e-petition.  Lebih jauh lagi, e-campaigns ini juga dapat menginspirasi munculnya kampanye sejenis. Seperti e-petisi yang diluncurkan oleh Glenn Fredly ini, yang merupakan sambungan dari kampanye #SaveAru yang berawal di Twitter. Baik orang Indonesia (dari yang berdomisili di Maluku maupun sampai Aceh dan Denpasar) dapat mengekspresikan dukungannya. Header yang berbahasa inggris pun dapat menarik perhatian orang yang bukan WNI, namun memiliki pandangan yang sama dengan Glenn.

Salah satu wadah yang memfasilitasi hal ini adalah change.org.

1

Dengan 40 juta pengguna di 196 negara, situs tersebut menyediakan jasa pembuatan online petition gratis, lengkap dengan publication toolsnya, seperti linking ke Facebook dan Twitter. Change.org berambisi untuk mengingatkan orang-orang akan apa yang dapat terjadi ketika masyarakat berkumpul dan menyatakan pendapatnya, dan baru-baru ini muncul dalam bahasa pengantar Bahasa Indonesia.

Bagaimana dampak pasti dari slacktivism.... Well, riset di kedua spektrum optimis dan pesimis, dua-duanya ada. Which way do you swing? Riset ini dan ini yang menyatakan bahwa orang-orang dengan terlibat dalam online campaigns memiliki kecenderungan untuk juga terlibat dalam kegiatan offline. Sementara, riset ini  mengatakan bahwa justru slacktivists dapat merasa puas hanya dengan partisipasi jempol/telunjuk. Yeah, the world ain’t fun without a little contradiction.

Point is, I’m not a slactivism pessimist. Mungkin ini karena saya pribadi adalah seorang slacktivist. Rasa-rasanya udah banyak banget e-petition yang saya tandatangani, mulai dari isu gender, lingkungan, sampai waktu itu ada yang mau bikin prototype barang tapi butuh dukungan untuk cari dana (barangnya lucu, semacam tagging device gitu yang tinggal ditempelkan pada benda berharga (e.g. laptop, buku, kunci), terus nanti kalau kita nggak tau laptopnya dimana bisa langsung di-track lewat handphone and I NEED ONE). Saya dulu pecinta twibbon, dan sampai sekarang kalau ada petisi menarik lewat di Tumblr, saya pasti isi. Walaupun begitu, I don’t do it to look good or to feel good about myself. When people sign petitions and say I stand up for one cause, some of them really /do/. Meski mereka nggak turun ke jalan atau apapun, they’re willing to educate people (and themselves) about the issue, dan change starts from that, no?

 

PS for extra reading material: studi ini menyatakan bahwa mengisi petisi secara anonymous dan tanpa dipublikasikan ke social media stream memiliki potensi ‘bertahan’ lebih lama, karena menunjukkan komitmen to do good instead of looking good 🙂

We’re The (not-)Hipsters : Early Adopters & the Trend of Unplugging from Facebook

Standard

Close your eyes and think of when you first got acquainted with the internet. Karena kejadiannya baru tiga belas tahun yang lalu, saya sih inget. Exposure pertama saya pada dunia internet adalah waktu ayah saya membawa laptop kantor ke rumah dan mengakseskan situs film Petualangan Sherina buat saya. Saya membuat alamat email pertama saya kelas dua SMP (masih saya pakai sampai sekarang! :D). Akun Friendster serta Facebook perdana saya juga segera mengikuti. Saya nggak punya akses internet di rumah sampai saya kelas 1 SMA dan hijrah ke Depok, dan baru punya WiFi setahun belakangan. I guess I’ve always been a late bloomer, tee hee. Anyway, ever since the day I got my first internet-enabled phone, we were inseparable. Saya jatuh cinta–hook, line, sinker, boat, pada internet. It changes your brain the way cocaine does, and it is that addictive, it’s now considered a legitimate disorder.

Like they say: once you go web, you never go back. But, really, though? Consider this:

Image

Seperti yang saya tulis di postingan saya sebelumnya, the internet (particularly social media) jauh lebih berbahaya dari yang kita kira: dari yang sederhana kayak bikin bosen karena isinya itu-itu terus, merusak relasi dengan orang di sekitar kita (“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.”, cyber-stalking, cyber-cheating, etc) sampai menyebabkan monetary gain (cyber-gambling, credit card information theft, etc). As the crowd gets bigger and bigger, orang yang ada semakin beragam, dengan niatan yang berbeda-beda juga. Lifestyle exposure theory of victimization once again rings true: semakin besar paparan terhadap risk, semakin besar pula kemungkinan individu tersebut menjadi korban. Hal ini juga disadari oleh users, thus the Facebook “suicides” or account deletion.

Kebanyakan orang yang melakukan Facebook suicides biasanya anak muda yang udah agak lama di situs itu, dan they got fed up with it karena alasan satu dan yang lainnya. (This post tells you that Facebook might have experienced a plunge in their users’ activity growth.) Fenomena ini, menurut Laura Portwood-Stacer dari NYU, dapat disebut sebagai media refusal, yakni sebuah keadaan “where an individual consciously cut a certain habit of media consumption in their lives”, khususnya ketika mereka mulai merasa terlalu addicted dan bergantung pada media tersebut dan merasa “kehilangan kendali atas hidup mereka”.

Okay? Sekarang tiriskan pikiran tersebut dan make a shift to my subpoint.

Hipsters.

hipsters-14

(foto di atas was meme-ed excluding the whole context of the story, tapi yeah you got my idea)

You know them. The anti-mainstream ones. Basically the group who refuses a lot of things: consumerism, capitalism, cars… Banyak stereotip yang diterapkan orang pada kelompok ini, but let’s be optimistic and pay attention in the one quality: mereka adalah the earliest adopters–hipsters tend to sense what’s worthwhile before the trend or item becomes more popular. One-liner mereka adalah “I like/own/read that before it was cool”. Dan as this post sums up so brilliantly, there’s this irony about being the early adopters:

…of course, the irony of being an early adopter hipster is that once the trend or item becomes mainstream, it’s time to move on to something else obscure and unrecognized…

Introducing Instagram. Vine. Path. Tumblr.

Early adopters adalah label yang lekat dengan anak muda. Median umur pengguna Facebook adalah 22 tahun. Sekarang Facebook sudah terlalu mainstream in the context of semua orang punya and it had became stifling to live in that world, dihantuin notifications and tagged pictures and app invitations *shudders* I’m not saying that relationships stemming from the internet arent real–they’re real, I have proof. But really, though, adalah wajar kalau banyak orang yang pull-out dari Facebook secara sadar. It’s just…not the same.

Secara pribadi, saya sudah lama banget nggak mengakses akun Facebook saya. I can’t delete it, banyak foto-foto yang masih penting. I was once addicted, but I went through rehab and yep, still happy. Lebih sedikit distraction. Life is better. How about you? Have you unplugged yourself? Why? And how are you feeling about the decision?

“Seeya, it’s been fun while it lasted!” : Disappearing from the Web 2.0

Standard

Okay. Let’s do this.

Di kelas kemarin, kita membicarakan tentang sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi concern saya sejak lama: internet trails. Jejak. As we all know, apapun yang di-post ke internet, once it’s out, it’s out, dan kayaknya susah banget ditarik lagi. Pasalnya, I’ve stumbled upon stalkers orang-orang kepo tipe orang-orang iseng yang suka nge-google nama kita dan ngorek informasi dari sana. Selain itu, saya sendiri juga tipe orang yang nggak suka ninggalin jejak–analog maupun digital–soalnya nyusahin dan membuat kita jadi nggak bisa move on. I hate my childhood diaries (I’m going to burn them). I hate how I sounded, how naive and stupid I was… pokoknya bukti-bukti cara pikir masa lalu = NO. I don’t mind pictures, but writings? There’s this one entry that I rambled about how in love I was with my goddamned teacher–hal yang kalau dipikirin sekarang bikin gemes dan pingin balik ke masa lalu to shake past me’s shoulders while going, “THE FUDGE ARE YOU DOING WITH YOUR MIND?”

*nafas*

Forreal, though. Jejak analog masih relatif lebih gampang dihapus. Jejak digital? Tell you what–waktu SMP dan SMA, saya alay. (WELL siapa yang nggak, sih? #pembelaan) I have a Friendster account, complete with a built-in blog and Plurk and whatsnot. Level literasi media saya masih rendah banget at that time, and it was the early 2000s, so fURiouSLY toGGLed CAPs and the insertion of numb3r5 on every word are to be expected *sigh*. Kalau lagi nge-google, blog dan situs itu sering keluar dan mood saya langsung hancur berantakan. I need to get it deleted. So I did.  Hidup saya terasa lebih ringan dan agak plong. Phew, thank God my future employer won’t see that!

Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang berpikir seperti itu. Pengguna social media kebanyakan menyesali apa yang mereka post online. That, and the fact that social life had been so stifling these days. I mean—facebook used to be fun. Twitter, too. LinkedIn, MySpace… They all used to be fun. But what happened ketika our virtual social life ruins our real life? Seperti contoh yang saya baca di Lifehacker, karena saking excitednya kita untuk membagi segala sisi kehidupan kita di media sosial, ada orang yang sebenarnya nggak pernah mengakses situs-situs porno, misalnya, tapi namanya tercantum dalam list kontributor favorit karena ada blogger A yang nge-pingback blog dia. Atau seperti salah satu rekan saya, yang mendapati nomor handphone ibunya terlihat dalam hasil Google Search. The internet can be a really, really creepy place (this article is pretty good), dan adalah sangat wajar untuk ingin keluar dari lingkaran tersebut. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan when you’ve had enough of virtual lives, and this site could help you do the first step.

 

j

Yak. Beberapa bulan yang lalu, I was casually surfing the net when I found that site above. Left quite the impression (love the icon). This could be useful, pikir saya waktu itu, dan bener aja, ternyata bisa dipake buat blogpost 😛 I didn’t have the address memorised, tapi servicesnya yang saya ingat. Catchy juga sih soalnya.

Kalau masih bingung maksud dari situs di atas itu apa, beberapa slogan-slogan situs ini mungkin bisa membantu. *clears throat*

  • Wanna meet your new neighbors again?
  • May you rest in a better Real Life!
  • You want your actual life back?
  • Sign out forever!

Promising, no? Web 2.0 Suicide Machine (mulai sekarang akan di-refer sebagai The Machine) berfungsi untuk menghilangkan private content dan friend relationships–tanpa melakukan deactivation. Dibandingkan dengan manual suicide yang bisa memakan waktu > 9 jam, The Machine bisa mempercepat prosesnya jadi kurang dari 1 jam untuk setiap 1000 teman. One of the best things about The Machine adalah kita akan dibawa melihat secara langsung proses penghapusan koneksi yang ada di akun kita–seperti halnya dengan kehidupan nyata, menurut moddr_, when our life passes before our very eyes before we die. Anyway, setelah melakukan proses, yang tersisa dari akun kita cuma foto dan pernyataan last words. The Machine adalah salah satu dari a drawer full of web 2.0 suicide tools. Setahu saya sih ada accountkiller dan seppookoo. Harusnya sih ada lagi, tapi belum liat 😀

Like Lifehacker showed me, hal berikutnya yang bisa dilakukan untuk benar-benar menghilang adalah mengetik nama kita sendiri di search engine dan mencatat situs-situs yang masih menampilkan nama atau informasi pribadi kita. After that, try and politely contact the administrators of the site so they would take it down. Doesn’t always work, tapi it doesn’t hurt to try.

Setelah itu, baru kita coba menghubungi GoogleGoogle Images, atau Bing untuk meminta mereka melakukan pengindeksan (is there such a word…) ulang. Fill in a simple form and wait. Seperti biasa, there’s no actual guarantee bahwa laman itu bakal hilang dari list Google Search kita. However, there is a bigger chance that your content will be removed kalau laman-laman yang kita laporkan mengandung konten yang pribadi atau melanggar copyright, anyway 😀

Realistically, it’s not impossible to be completely gone from the web, but yeah, it’s pretty hard to do it because the Net isn’t a vacuum space. It’s made of thousands upon thousands of people. Google’s CEO once said bahwa kalau kita nggak mau orang lain melihat sesuatu (di hasil google search), maybe you shouldn’t be doing it on the first place. Yeah well, how about those drunken pictures your friends took and posted an’ all? *sighs* Seperti yang dikatakan Mbak Titut kemarin, it’s not enough to do it alone. Kepedulian akan pentingnya menjaga privasi satu sama lain, pengetahuan akan betapa internet is not this Utopia di mana semua orang bermaksud baik–media literacy–is never more important. So spread the news! Tell your sister, your brother, your mum and your da’ how to stay safe on the internet. Good karma bounces back 😉

 

PS: Anyway. Here’s some decent posts about security and privacy, termasuk what/how to install anti-tracking apparatuses. Happy reading!

Where did we go wrong? : Rants On Wikipedia Indonesia and Sheer Lack of Enthusiasm

Standard

Okay, first off.

Saya bener-bener sedih karena saya nggak bisa ikut kuliah dosen tamu kemaren karena jadwalnya bentrok sama kuliah wajib humas. Nasib anak belanja, tau gitu gue komed aja dari awal. From what I heard, dosen tamunya (Mbak Siska, dari Wikimedia Indonesia) was so cute and what’s important was the fact that she kicked arse. Penasaran, saya baca blog anak-anak lain, terus nekuk muka senekuk-nekuknya. Ternyata di kelas mereka ngomongin tentang kenapa Wiki-pages tidak boleh dijadikan rujukan dalam membuat paper (#firstworldproblem) dan ngediskusiin isi perut Wikipedia Indonesia–dari kenyataan bahwa kontributornya sedikit sampai fakta bahwa ternyata gatekeepernya anak SMP umur 15 tahun, hahahahaha. So that’s why it’s a bit funny sometimes. (PS: no offense untuk anak-umur-15-tahun-yang-bersangkutan, you’re doing an awesome job for your age.)

Rugilah.

Well. *sighs* on with the show, then?

Two is Better than One? (okay, that’s rich, coming from me..)

Collective intelligence. I swear it’s one of my favourite terms these days (it’s so catchy~), and we should all thank Pierre Levy for coining it. Dalam bukunya, Levy mendefinisikan collective intelligence sebagai sebuah bentuk ‘pengetahuan’ yang terdistribusi secara universal, selalu diperkaya, dan terkoordinasi secara real-time, sehingga menghasilkan mobilisasi skill yang efektif. Menurutnya, karakteristik terpenting dari collective intelligence adalah mutual recognition, di mana orang-orang berbagi kredit akan sumbangsihnya, dan enrichment of individuals, bukan penyembahan kelompok tertentu. Basisnya, pengetahuan tidak dimonopoli oleh satu orang atau satu kelompok saja, dan untuk membuat sesuatu yang whole, kita harus sharing.

In the wise words of Bill Nye, “Everyone you meet knows something you don’t.”

The millennia-long question

Kalau begitu, kasarnya, harusnya anak-anak jangan dimarahin kalau nyontek, dong? Pfft, of course not, that’s stupid, but you know where I’m heading with this. Maksudnya, di sekolah kita diajarin untuk menjadi individualis. Jangan mau bagi-bagi jawaban tugas. Ulangan apalagi. Jengkel kalau disuruh kerja kelompok; maunya sendiri aja biar cepet, terus biar hasilnya sama dengan apa yang kita mau walaupun akhirnya malah nyusahin diri kita sendiri–no asha stop this isn’t a diary.

Tapi yah agak kabur emang kalau ngomongin ginian. As a doublethinker myself, saya bisa melihat poin-poin penting dari kedua sisi argumen yang sudah ada sejak zaman dahulu kala: sendiri atau bareng-bareng? Liberalisme apa komunisme/liberalisme? Go public atau stay private? Individualis atau kolektivisme? Jomblo atau pacaran? JENGJENGJENG The fact that there’s no definite answer akan yang mana yang lebih baik between the two membuat saya tidak merasa punya otoritas untuk bilang bahwa sistem sekolah kita yang masih terlalu individualis (imho) itu salah. It has its own merits. Individu tidak akan bisa memberi sumbangsih yang baik kepada collective intelligence kalau dia nggak punya dasar ilmu yang kuat, tapi kalau dasarnya terlalu kuat nanti dia bisa jadi sombong terus masuk neraka (no, ignore me, i write drunk. i’ll edit this later. maybe. :P)

Where, praytell, did we go wrong?

Really though, Indonesia as a whole adalah negara yang kolektif, ya kan? Gotong royong, pancasila and stuff. Collective intelligence seharusnya menjadi sesuatu yang inheren dengan budaya kita, kan? Terus kenapa kontributor wikipedia Indonesia cuma sedikit? 😦 What is the real source of the problem, actually? Terlalu individualis/kolektivis? Wikipedia yang paling bagus (lengkap, updated) kata Mbak Siska dari Jerman (generally individualist orientation) dan Jepang (generally collectivist orientation) tuh. Nggak ngaruh, berarti? Infrastruktur? Bisa jadi, tapi kalau ngeliat betapa pendidikan (access-wise) masih berpusat di kota-kota besar, masa sih… Kurangnya literasi media digital? Idem. Apa karena Wikipedia berbau ‘akademik’ (well, when I say academic…) jadi orang-orang pada males?

Berarti salahnya dimana? Beats me.

My biggest fear, though, is that we’ve grown too apathetic. We just–to put it simply–don’t care enough. Itu, bukan, yang jadi problem anak muda jaman sekarang? Locked in our little world, not reaching out unless we really have to? With all these ideas in our head, tapi tanpa kemauan untuk–at least–write it down? Seriously, though, apa bakal ada yang ngeblog tentang sesi kuliah kalau nggak disuruh? Bakal ada yang ngebagi-bagi insight yang kita dapetin kalau bukan demi kepentingan kita sendiri? Maybe there will be beberapa orang yang pintu hatinya tergerak. Maybe, there won’t be any.

So. Yeah. Enough angstiness for today. Heads up, there’s an African proverb that says, “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”

(Y)our choice.

Keeping Up with The Mors: the R/W Tradition of Sherlock Holmes

Standard

So. Lemme brief you about the situation. *benerin dasi*

Once upon a time (in 1906, actually), there’s this composer who came to Washington to talk to the Congress. Namanya Sousa. John Philip Sousa. Long story short, dia kesana mau menggugat Congress untuk “membenahi kesalahan besar dalam hukum…karena (hukum yang berlaku sekarang) mengizinkan produsen dan penjual rekaman (fonograf) untuk mencari untung dari lagu-lagu terbaik dari komposer-komposer Amerika tanpa membayar sepeserpun”, yang menurut dia merupakan bentuk pembajakan. He said some interesting stuff in his court testimonies, dan yang menarik perhatian Lawrence (writer of Remix–the reference book for this week) is this part, di mana dia memprediksi tentang bagaimana teknologi akan mengubah hubungan kita dengan budaya:

When I was a boy…in front of every house in the summer evenings you would find young people together singing the songs of the day or the old songs. Today you hear these infernal machines going night and day. We will not have a vocal cord left. The vocal cords will be eliminated by a process of evolution, as was the tail of man when he came from the ape.

Menurut Sousa, terobosan teknologi ini akan membawa kita dari budaya Read/Write, yang dia sebut juga sebagai Amateur Culture ke budaya Read Only. Kita hanya akan mampu memilih apa yang ingin kita dengar, bukan membuat sesuatu yang ingin didengar orang. Sousa juga mengatakan bahwa di masa depan nanti, orang yang mempunyai akses produksi (dalam hal ini kemampuan untuk memainkan alat-alat musik) akan semakin sedikit, dan kebudayaan akan menjadi sesuatu yang democratised instead of democratic karena instrumennya dikuasai kaum tertentu saja.

Well. Karena gue bukan orang yang terlibat dalam dunia permusikan, I’m going to drag the context to the land of my people–the realm of fiction works. More specifically, *whispers* the Sherlock Holmes fandom. Why? Well because it’s one of the oldest fandom in the world, dan kita bahkan punya klub (invitees only, by the way!) khusus untuk para penulis misteri, illustrator, critics, scholars (yep. Scholars. Click this for a list of published studies~) yang sudah mencatatkan namanya dalam dunia publikasi Holmesian. The first novella, A Study in Scarlet, was published on 1887. Seluruh karya Doyle (disebut ACD-canon) sudah menerima status sebagai public domain di Inggris sejak 1980. Sherlock Holmes is also the most portrayed movie character (the first one is at 1900), with over 70 actors in 200 movies, dan menjadi inspirasi untuk ratusan karya derivatif.

Dalam dunia fiksi, kalau dihubungkan dengan testimoni Sousa, menurut saya yang bisa disebut dengan instruments adalah icons: characters, artifacts, speech patterns…dan menurut saya, teknologi sekarang nggak membatasi itu kok. Dengan adanya RDJ’s Sherlock Holmes, BBC Sherlock, dan PBS Elementary, the world is, once again, reminded of the adventures of Holmes and Watson, tapi bahkan sebelum itu pun, The Sherlock fandom is still holding on to our R/W tradition. Saking kuatnya, we have two kinds of canon: ACD-canon, dan Adaptation Canon. Adaptation canon includes additional Sherlock Holmes stories in the conventional mould (misalnya The Exploits of Sherlock Holmes, The Seven-Per-Cent Solution, The Hound of the D’Urbervilles… *choked sobs*); Holmes placed in settings of contemporary interest (Sherlock Holmes and the Heir of Albion, Death Cloud…); crossover stories in which Holmes is pitted against other fictional villains (Sherlock Holmes vs. Dracula, anyone?); or explorations of unusual aspects of Holmes’ character which are hinted at in Conan Doyle’s works (The Doctor’s Case,  Sherlock Holmes: The Unauthorized Biography). Please noted kalau yang saya cantumkan di atas itu cuma adaptations yang berbentuk buku. Banyak juga kok yang bentuknya komik, film, TV series (kyaaa Cumberbatch!), sampai drama teater. The thing is, (tergantung seberapa banyak seorang individu membaca teksnya) the fandom generally acknowledges both sides as canon.

Okay, let’s get back to business. Everybody knows about Sherlock and John. Question is: how well do you know The Mors?

a

Who the flying pillows are they? Why, the whole artillery of Moriarties and Morans, of course (Go ahead, click the link above). If you hadn’t lived under a rock these past few years, seharusnya kedua nama itu at least rings a bell. Professor James Moriarty, the archenemy of supersleuth Sherlock Holmes. Consulting criminal, mathematician, astronomer, genius psycopath, and his lieutenant, ex-Bangalore Pioneer Colonel Sebastian Moran–tiger hunter, crack shot, sniper. Singkatnya, these two are the darker, twisted version of Holmes and Watson. Since Sir Doyle nggak banyak mengekspos kedua karakter ini dalam karya-karya canon-nya, we the fandom went absolutely mad over them. SHIP THE SHIP, PEOPLE!

Are they canon? Well, seperti yang udah saya bilang di atas, it depends on how textually active you are: ACD mentioned Jim, James, and Jamie Moriarty (as Tumblruser Silverbit gently nudges, “Guess whose favourite name was James~?”). Sebastian Moran is ACDcanon dan Adaptation Canon tapi belum BBC-canon (get your noggin’ together BBC please), Richard Brook cuma ada di BBC Sherlock, dan Augusta Moran cuma ada di Hound of D’Urbervilles, itupun nggak punya line satupun.. And when you think it’s over…datanglah Severin. Severin Moran is entirely fanon.  Terus ada juga Lucien. He’s not even human (he’s a vamp, actually).

As quoted from this page, “fanon fills in holes that the writers may have deliberately left in order to have fodder for later stories. In addition to arising from a point of vagueness in the canon, Fanon can come into existence as a fact gained from a popular but non-canonical source, or taken from a different Adaptation.” They don’t exist /anywhere/ but in the minds of the fans. But fans trilled over them, though, excitedly making backstories, making them interact in RP forums or fictions, making communities, cosplays (yes even of those characters who hadn’t been seen anywhere. We use face claims and fanfic/fanart references. Btw I stan Fassbender for Moran yumyum). Saking inherennya peran fanfiction dalam dunia fandom sekarang, banyak di antaranya punya verse-nya sendiri–diperlakukan seakan-akan they’re canon.

As a very dear person of mine quoted from Tumblr several days ago (bless her), “Fandom is, essentially, the collective refusal of people across the world to be passive about the media they are exposed to.” And I can’t express how much I agree with this statement.

So! Bottomline. As far as I’m concerned, the R/W culture still rules. The fandom is much too talented to be confined, and so is the public in general! Nggak ada instrumen? Bikin sendiri. Make your own Severins. Nggak banyak orang bisa main musical instruments? Try cups! Or make your own electric guitar! Look around! Di sekitar Depok mulai banyak pengamen yang mainnya biola. Atau grup pemusik jalanan yang pake cello atau double bass. Soundcloud mempermudah orang mem-publish their own original tune, atau their own rendition of popular songs. The same thing goes with Youtube–even better! Tutorials are everywhere. Orang nggak perlu belajar formal di tempat kursus untuk bisa main alat musik. What happens is, beda dengan prediksi Sousa, today’s technology nurtures sharing, and by this method of spreading knowledge and with the audience encouraging people to contribute to the sphere, R/W culture will stand the test of time against R/O culture.

Wali Songo : “Glocalised transmedia storytelling? Been there, done that. We’re the first mayors on FourSquare.”

Standard

A/N: this blogpost contains bits of religious thingies here and there, and is written under the assumption that transmedia storytelling is /not/ about fiction and entertainment only, tapi naratif secara keseluruhan. Kisah. Okay? Got me? Nggak ada fanatis yang mau nyiram air ke muka saya? Semua beres? A’ite. Hold on to your knickers, I aint gonna blaspheme, I’m a believer. If I sound like I am not, though, please feel free to knock some sense into my head. /Sense/ ya, bukan air. Oke? Peace? Sip.

Oh, dan post ini agak pointless. Feel free to fill in the gaps. Collective knowledge, people.

Menurut Jenkins, transmedia storytelling–selanjutnya akan disebut TMS, agak panjang, soalnya.–adalah sebuah proses di mana elemen-elemen integral dari sebuah fiction disebarkan secara sistematik di berbagai saluran delivery dengan tujuan membentuk pengalaman hiburan yang terintegrasi dan terkoordinir. Dalam penerapannya, TMS nggak melulu fiction, sih. Cerita Free The Forced yang dijadiin contoh di kelas kemaren katanya masuk transmedia juga, karena penyampaian cerita multiplatform dan partisipasi audiens yang akhirnya memperkaya mastertext–jadi kayaknya disini lebih tepat disebut narrative nggak sih? *ponders*

Kalau begitu, kalau begitu, agama bisa juga masuk sebagai contoh, dong? Iya kan?

Waktu saya lagi blogwalking dengan innocent-nya beberapa waktu yang lalu, saya nemu blog ini. Yang nulis disitu adalah seorang author, namanya Chuck. Go check his posts, he’s hilarious. Agak NSFW sih bahasanya, but yeah, you got the drill. Long story short, dalam salah satu post-nya, Chuck Wendig bilang begini:

“You want to look farther back than Star Wars, well, look no further than religion. Like, any of it. Multiple stories and characters across a storyworld that crosses multiple platforms (books, oral tradition, friezes, scrawled on the backs of temple eunuchs), profoundly affects and is in turn affected by its audience? George Lucas ain’t got shit on the entire breadth and depth of religion. Religion is transmedia.

Terus saya langsung kedip-kedip gitu because it makes perfect sense! Right? Apa sayanya aja yang mabok? (Shut it, Ash, you’re always drunk). Manusia hidup dari berbagi kisah, and that’s fact. Like almost everything in life, religion is in a way, a story that we share and believe in. Film Life of Pi pictures this beautifully. Go watch it, if you haven’t.

Oke. *clears throat*

Sekarang ke topik yang sebenernya mau saya angkat. Wali Songo dan glocalised transmedia storytelling. Glocalisation bisa dijelaskan sebagai proses penyesuaian sebuah produk/jasa sehingga sesuai dengan nilai-nilai atau budaya tempat produk/jasa tersebut diperdagangkan. Seperti rendang yang katanya rasanya lebih manis di daerah Jawa daripada di Padang, supaya sesuai dengan lidah konsumen. Atau kisah Sleeping Beauty yang dimanisin banget sama Disney (baca aslinya disini) supaya cocok dengan mental anak-anak. In this case, Wali Songo are the merchants, the religion and its values are the goods, and people of Java at that time are the target consumers.

As we all know, the most notable thing about Wali Songo adalah bagaimana mereka menggunakan kesenian dan mengadaptasi nilai-nilai Jawa ke ajaran Islam untuk menarik minat orang Jawa pada masa itu untuk memeluk agama Islam. They put bits of the mastertext here and there in various medias: cerita wayang, tembang, gamelan…dan itu membuat orang-orang Jawa yang bersangkutan penasaran dan mulai mencari informasi–what is this Islam thing anyway? kali ya di benak mereka–dan mereka belajar dan belajar dan BOOM! Iman. Syahadat. Information hunter-gatherer berubah jadi information seeder, dan begitu terus sampai titik. Agak mirip fandom sedikit, memang. Not much difference disitu, sih, Fandom is religion for some people. Kabarnya di Korea kalau udah suka sama satu boyband terus suka sama boyband lain nanti dibully–ah, that’s a story for another day 😛

Sebenernya benih-benih transmedia storytelling udah ada sejak lama banget lho di darah kita–I mean di nusantara. Terus kenapa nggak jalan banget? Kemaren dosen saya bilang kalau di Indonesia agak susah untuk menerapkan TMS, di antaranya karena infrastruktur yang belum terlalu bagus disini. Yah, well. The technology isn’t really the point, for me. Media banyak kok yang lebih gampang disebar–like TV atau koran atau majalah. Granted, it’s not going to be as exciting as the internet, tapi it’s going to be enough. Masalahnya, folks, ada pada the willingness to look around–see what the people around you need, and what you have, and share them and think out of the big box and plan ahead.

Kalau Wali Songo dulu bisa, kenapa kita nggak?

Delco webney! : Paradigm Shift in The Development of The Sims (Part II)

Standard

Some people have the time, skills, dan kebesaran hati yang luar biasa untuk membuat dan mendistribusikan (secara gratis) their tweaks, modifications (mods) and items. Without these Ultimate Good Samaritans, menurut saya Sims 2 dan 3 akan kehilangan sebagian charm-nya karena kita tergantung pada item yang disediakan EA untuk meng-customise pengalaman permainan kita. Padahal, salah satu hal yang paling menyenangkan dari main The Sims 2 dan 3 adalah Create-A-Sim (I say this because in the original The Sims kayaknya kebahagiaan terletak di menata rumah karena Sim-nya belum bisa di-customise). Pingin rambut dikepang, adanya kepang dua, kayak gadis desa. Pingin dress, adanya yang modelnya begini, padahal maunya begitu…

Well, thank God for custom content!

Awalnya saya nggak pernah berani pake modifications macam begini on the fear of damaging the system (I’m very cowardly in that way), tapi sejak adik saya ngotot pingin nyobain, yang ada sekarang jadinya ketagihan. Really, though, kita ngedownload banyak banget CCs sampai akhirnya game-nya nge-lag parah. Bukan salah bunda mengandung. CCs emang asik banget. Ratusan, bahkan ribuan gaya rambut, pakaian, skema warna make-up, sampai saved sim yang mirip artis tersedia, dan semua ini bukan rilisan resmi dari EA, tapi dari sesama pemain. Palu gada. Apapun yang lo mau, gue ada. This, is why User-Generated Content in games is important. They enrich the experience in ways only we the users know how, karena cuma kita yang tahu persis apa yang kita mau—itu juga kalau kita beruntung. Most of the time, kita bahkan nggak tau apa yang kita mau…..

(Okay, Asha, stop, ini bukan buku harian.)

* surreptitiously clears throat*

It wasn’t always this way. Lihat The Sims yang awal. Kita cuma bisa memakai apa yang disediakan in-universe. Tidak ada pilihan lain, customization terbatas. Warna kulit cuma itu, badan cuma satu model. But we played anyway. Bisa dibilang, in a sense, kita pasif. Mungkin inilah yang menyebabkan perubahan besar di Sims 2 dan 3—dorongan dari audience yang gatel pingin berpartisipasi, and that’s participatory culture for ‘ya.

The Two Types of Tango

Minggu lalu, di kelas, Mbak Titut menceritakan tentang betapa gegernya masyarakat Amerika gara-gara drama radio War of The Worlds yang mengisahkan tentang invasi alien dari Mars. The year was 1930s, dan mereka bener-bener ketakutan karena mereka pikir itu bener-bener kejadian. Mereka aktif, sih, karena diceritakan bahwa mereka berusaha menghubungi stasiun radio CBS untuk mencari informasi, tapi karena jaringan telepon yang belum bagus dan banyaknya jumlah penelepon, semuanya gagal. Ini semakin meng-amplify keyakinan mereka bahwa Amerika benar-benar sedang diserang makhluk Martian. Terdengar lucu sekarang, but it was very real to them.

So. Awalnya, audience bersifat pasif. In a general sense, mereka menyerap apa yang dikatakan media, and I mean it. It’s as if the media is a hypodermic needle. No resistance. The audience is defenseless. They will swallow and believe anything. Dalam Littlejohn, dikatakan bahwa bisa dikatakan efek media bersifat langsung, immediate, dan pengaruhnya sangat kuat. Pada masa ini, propaganda lewat media sedang ada pada masa kejayaan. Dari Nazi sampai Roosevelt sampai Soekarno. Diasumsikan bahwa the modern mass-society individual was lonely, vulnerable, and easily manipulated. Hingga kini, sebenernya pendapat ini nggak sepenuhnya disalahkan. Riset-riset tentang pengaruh kekerasan di televisi, terutama terhadap anak, masih mengadopsi perspektif ini, kok.

Sesuai perkembangan zaman, sekarang term yang lagi nge-hits adalah active engagement. Sebelumnya, ada uses and gratifications, di mana audience tidak lagi wholly passive, melainkan aktif karena banyaknya pilihan yang tersedia. Nah, di atas U&G ada Active Engagement, di mana audience actually participates in producing stuff. Prosumerism, bisa dibilang. Dalam mengonsumsi sesuatu, seorang audience juga merupakan seorang produser. Look at fan-culture: their master text dan remixes dan reproductions dan segala hal yang membuat segalanya menjadi lebih kaya, lebih relevan, lebih menarik dan lebih relatable.

And that, is what happened to The Sims, in my humble opinion.

Saya memang nggak tahu pasti apa yang ada di balik layar development Sims 2 dan 3, apa yang menyebabkan perubahan besar-besaran moda Create-A-Sim, atau siapa yang mencanangkan customization dan the possibility of UGC masuk dalam text, but there’s a chance that perubahan ini diajukan oleh pengguna game itu sendiri, yang, as I’ve written above, gatel karena nggak bisa ngutak-ngatik permainannya sesuai dengan keinginan dan selera dia. Thus, lahirlah custom content. The good thing is, EA lets this happen. EA embraces it, karena it knows better than to close itself and be left off. Lebih baik menjadi pengawas and let the magic happen. Let the users interact, be producers and consumers at the same duckin’ time. Let them be free, silahkan jual itemsnya di Sims Store, atau distribusikan semau kalian. This leads to a harmonious dan mutually-beneficial relationship between The Corporation and The Users—hubungan yang kabarnya identik dengan game-makers dan users mereka. Wonder why TVs and movies aren’t so keen on this yet (or are they?).

Collective creativity is it-term today, anyway. Participatory culture brings all the ideas to the yard. Everybody has their own ingredient to be added to the collective stew. The possibilities are endless, and in this sense, I just can’t wait for The Sims 4.

Sul Sul! : Paradigm Shift in The Development of The Sims (Part I)

Standard

Sebelum saya mulai, lemme take this out of my guts: this week this semester this life these past few days had been hell-ish. So many things to do and so little time. Untuk memperparah situasi, adik saya (dan pada gilirannya, saya, because she uses my laptop, too) lagi punya obsesi main The Sims. Lagi. Yep. This means a huge distraction karena saya nggak pernah kuat sama godaan permainan life-simulator ini—kayak kelar aja Shan ngurus hidup benerannya. Satu kerjaan selesai, mainnya tiga jam. Yah, begitulah. Karena obsesi saya ini, post kali ini akan menyoroti perkembangan The Sims sesuai dengan perkembangan paradigma audiens—dari pasif-hypodermic needle sampai active engagement.

(A/N : Part I is largely a rant mengenai The Sims, its EPs and their development. For audience paradigm theory and analysis, turn into Part II.)

The Sims

Seperti mayoritas generasi 90-an, saya mulai main The Sims waktu game-nya masih cupu. Well, cupu dari pandangan sekarang sih. Pas tahun 2000-an, it was the bomb. Umur saya masih 7 tahun waktu itu, dan namanya masih The Sims doang, belum bernomor.

Dalam waktu dua tahun setelah peluncurannya, The Sims langsung meroket dengan rekor penjualan 11.3 million copies worldwide (itu yang terjual lho, bukan terbajak. Saya dan temen-temen komplek dulu pakenya yang bajakan….), dan langsung menyabet penghargaan sebagai Best-Selling PC Game in History. Padahal masih campuran 3D dan 2D gitu grafisnya. Inget nggak sih kombinasi bikin karakter-nya cuma berapa? I remember using the prettiest one over and over again. Padahal sih mukanya sama. Rambutnya aja yang beda. Belum ada ekspresinya, gerakannya masih choppy, terus hidupnya gitu-gitu doang. Mandi, makan, kerja, pulang, tidur. Udah ada skillset, tapi ya gitu aja. Harinya cuma siang-malem aja. Nggak pernah hujan, nggak pernah ada angin.. Well to be fair sebenernya it’s not that bad—apalagi setelah ditambah expansion packs.

The Sims punya 7 expansion packs. Here, test your memory. It started with Livin’ Large, terus House Party, yang dirilis nyaris setahun setelahnya. Sim jadi bisa menyelenggarakan pesta di rumah. Perubahan yang ditawarkan ini belum terlalu signifikan di mata saya sebagai casual player waktu itu (belum obsesif soalnya). Saya ingetnya nge-install (masih pake CD, bless them) dan main yang Hot Date. Akhirnya, Sim kita bisa pergi dari rumah dan jalan-jalan ke Downtown! Alhamdulillah. Life becomes less boring buat Sim saya, dan saya yang masih volatil akhirnya berhenti ngunciin Sim di kolam renang sampai kecapekan dan pingsan atau pacaran sebagai hiburan satu-satunya (walau ke Downtown pacaran juga sih…tapi, yah, biarin lah, ya, at least nggak stuck di rumah). Vacation (3CD, nginstall-nya tiga jam…) enables Sim to stay in a lot away from home untuk liburan. Ada tiga pilihan tempat, kalau nggak salah: yang bentuknya hutan, pantai, dan gunung bersalju. Sim bisa berjemur, bikin sandcastle, juga bisa beli oleh-oleh buat nanti dikasih ke temen-temennya. The fifth expansion, Unleashed, is my absolute favourite. Pets! Oh, come, on, as someone who can barely take care of herself, I find having virtual pets as a huge happiness. I remember having four cats, two dogs and several birds in a period of time, dan semuanya kerjaannya ngerusakin sofa dan ngotorin rumah. Okay. Maybe bukan favorit saya dalam hal gameplay karena jadi lebih banyak yang diurusin, tapi my heart just glowed at the thought of having my virtual humans take virtual care of their virtual tabby cats. Dua ekspansi terakhir, Superstar dan Makin’ Magic nggak pernah sempet ke-install karena komputer saya nggak kuat, langsung nge-lag (namanya juga tahun 2004-an #pembelaan) but there, click the links, it’ll take you down the memory lane.

The Sims 2 dan The Sims 3

Loncatan perbedaan dari Sims ke Sims 2? Massive. Semuanya 3D dan customizable! Man, I remember looking at the graphics for the first time at 2006-ish and almost cried because it’s just so pretty :”)))) Sims 2 sukses secara komersil, dalam sepuluh hari pertama dengan sukses menjual satu juta kopi, dan lagi-lagi meraih penghargaan best-selling PC game of all time. Salah satu fitur paling prominentnya adalah Create-A-Sim. Yep, untuk pertama kalinya dalam jagad The Sims, pemain bisa mengatur hidung Sim-nya mau pesek atau mancung, tinggi dan posisi tulang pipi, sampai panjang bulu matanya. Anak-anak hasil konsepsi Try For Baby juga bisa tumbuh dewasa, tua, dan mati (di The Sims, bayi cuma bisa tumbuh sampai jadi anak-anak, abis itu nggak tumbuh lagi selamanya). Kehidupan mereka juga jadi lebih real—ada sistem cita-cita, wishes and fears. Sistem hari juga ada. Pilihan makanan berubah, ada yang cuma bisa dibuat pagi-pagi sebagai sarapan, ada juga yang cuma bisa dibuat untuk dinner. Sim juga punya pakaian olahraga sendiri, dan bisa gendut kalau nggak menjaga pola makan dan olahraga.

Sims 2 punya delapan expansion packs: University, Night Life, Open For Business, Pets, Seasons, Bon Voyage, dan Apartment Life. Seri kedua ini juga menandai munculnya stuff packs untuk pertama kalinya. Saya nggak pernah beli, sih, soalnya ampun cuma barang-barang doang—I can survive without those stuff. Saya juga cuma sempet punya Seasons dan Bon Voyage, dan hidup saya tahun 2008 rasanya sempurna banget walau saya belinya nggak urut. I remember experiencing my first rain di Seasons and it was glorious. Autumn dan winter-nya juga—biasa lah obsesi manusia tropis pingin nyobain musim lain kayak apa—well, seenggaknya virtually. Inget Sim saya sukses nanem Death Flower, sempet beku di luar gara-gara kelamaan bikin Snow Angel dan Snowmen, terus pingsan gara-gara heatstroke pas summer.. Ah, good old days. After Seasons comes Bon Voyage—mirip Vacation, Sim bisa pergi berlibur ke tiga pilihan daerah, yakni Beaches, Woodland, dan Far East. Di tempat-tempat ini, Sim bisa belajar berbagai macam hal—di Far East, mereka bisa latihan jadi ninja dan bahkan belajar teleportasi. I moved in with Bigfoot juga kalau nggak salah. All in all, I was a very happy Simmer.

But then komputer saya rusak lagi dan bam, semua kehapus karena harus diformat ulang. Reinstall juga susah, karena nggak tau CDnya pada kemana. Sigh.

No biggie, karena pertengahan 2009, The Sims 3 muncul. Dalam waktu seminggu, EA melaporkan jumlah pembelian sebesar 1,4 million copies. Secara grafis, I didn’t like it at the first glance, karena begitu banyak pilihan customization (alih-alih menyunting bentuk hidung, kita sekarang bisa mengubah sudut kemancungan sampai ukuran lubang hidung) dan jadinya agak males gitu. I personally think Sims 2’s hairstyles are prettier, tapi yeah, tinggal pake custom content and you can have all the pretty hair you want 😀 Perubahan terbesar dari Sims 3 adalah seamless map. Sekarang, Sim bisa jalan-jalan ke rumah tetangga, bahkan ke tempat-tempat umum untuk belanja tanpa masuk loading/transition screen. Kamera bakal mengikuti pergerakan mereka, be it walking, cycling, or by cab/car flawlessly. Sistem Wants and Fears diganti dengan Wishes, dan mengabulkan wishes akan berimbas pada Aspiration level, yang akan ditandai dengan munculnya moodlets, baik yang positif, negatif, atau netral.

Sejauh ini, Sims 3 punya 11 expansion packs, yakni World Adventure, Ambitions, Late Night, Generations, Pets, Showtime, Supernatural, Seasons, University Life, Island Paradise, dan yang paling baru, Into The Future yang bakal rilis akhir Oktober 2013. I currently have Supernatural, Seasons, dan Island Paradise installed, and I’m glad to say they don’t disappoint. Sims 3 juga punya 9 stuff packs, including Katy Perry’s Sweet Treats—yang sebenernya saya nggak liat sama sekali poinnya apa, sigh. Edisi ketiga ini muncul dengan Sims 3 Store, yang menyediakan konten-konten khusus yang nggak tersedia di medium lainnya. Sebenernya toko online ini udah ada sejak Sims 2, tapi Sims 2 Store juga menyediakan konten yang bisa didapatkan via expansion/stuff packs.

Okay, that’s it. On with the theory!

Facebook vs Reality : Pencitraan 2.0 (part II)

Standard

A/N: Post ini adalah sambungan dari post sebelumnyaobviously.

One of the best perks of web 2.0 is produsage. User-generated content. Internet tidak ada apa-apanya tanpa user, vice versa, for better or worse. Nggak semua informasi yang ada di internet itu bener. Banyak juga hoax. Di media online, berita palsu udah banyak banget–saking seringnya dibohongin udah nggak mau percaya lagi #ah (here, read this post, it’s hilarious). Dari berita tentang hoax Rohingya sampai tanggal rilis film, semuanya ada. Padahal itu ada gatekeepernya, kan? Di ranah social media, kebohongan-kebohongan juga terjadi–nothing too big–just extra-tweaked personal things untuk membuat kita terlihat lebih baik, lebih menarik… The curse of social creatures adalah kita selalu ingin terlihat ekstrakeren di depan orang. Filtering masih wajar–orang lain nggak perlu tahu urusan dapur rumah after all; tapi beberapa orang bahkan rela untuk memanipulasi data, just to look better.

This is especially apparent in Facebook photos. Go ahead, silahkan buka akun Facebook kalian, di section Your Photos. What you see there adalah upaya pencitraan kalian. Your best angles. Your best shots. Dan yang di kolom Photos of You? Yeah, that’s who you really are, how you really look like. Menurut penelitian yang telah dilakukan Walther, orang-orang lebih menghargai informasi yang sifatnya high-warrant, dan bahwa anggapan orang tentang tingkat kredibilitas dan attractiveness lebih mengacu pada apa yang dikatakan orang lain mengenai seorang individu instead of what they say about themselves.

Jadi…upaya pencitraan lo selama ini? Yeah, gagal, man.

 

facebook-vs-reality

Clickthrough for more FB vs RL images, tee-hee!

 

In another note, ada juga kebohongan jenis tertulis kayak di hobbies and interests, atau di bagian ‘describe me’ yang ada di Friendster dulu. Pingin keliatan keren dan terpelajar, ditarolah dia suka bidang filosofi dan etika, jago fotografi, atau ngaku hometown-nya di Seoul lah. Begitu ada yang nanya, dia cengok. Di LinkedIn, ini juga bisa terjadi. Overqualification, ngaku punya keahlian yang sebenernya nggak ada… Situs-situs jaringan sosial ini kebanyakan udah mencoba meminimalisir leeway untuk manipulasi data. Dari Facebook dengan Photos of You-nya, terus LinkedIn dengan sistem Recommendations…

Well, nggak semua orang bohong, sih, but the fact that now you know that some people do seharusnya membuat kita berpikir dua kali tentang blindly trusting the things people put on their profiles, dan dari skala yang lebih besar, this puts the whole media in jeopardy. Semakin banyak hoax, semakin banyak exaggerated profiles, semakin SNS kehilangan reputasinya. Dan hubungan yang baik itu didasari rasa percaya, toh? Mau interpersonal sampai antar lembaga sampai one-to-many kayak antara perusahaan dengan konsumennya, semuanya berpusar di sekeliling konsep trust.

Begini aja deh. As someone who had been studying Public Relations for almost three years, kunci utama dari kredibilitas personal adalah kejujuran. If you don’t have anything nice to say, then be a lamb and shut up–mending diem daripada bohong. Filter your information, bukan ditambahin yang aneh-aneh biar keliatan keren. Keep it balanced, still, jangan yang baik-baik doang yang dikeluarin, itu mah sama aja. Relatif lebih mudah membangun daripada memperbaiki kepercayaan. Dan sekarang channel informasi udah banyak banget–people are going to find out anyway. Nanti yang malu siapa hayo kalau ketahuan?